Translate

Jumat, 13 November 2015

Selubung Tak Tembus Pandang

“Nah, itu Universitas Indonesia!”, kata saya pada anak-anak saat kereta Commuter Line (CL) yang kami tumpangi melintasi salah satu kampus terbaik di tanah air itu. “Dulu, Ibu Mutia dan Ibu Riri kuliah di UI”, saya menambahkan dengan lebih antusias.

Hari itu, kami Alumni Pengajar Muda Kabupaten Bima dan para relawan sedang mengadakan kegiatan Tur Kota Tua dengan anak-anak Bima yang mendapat kesempatan belajar di SMP-SMA Smart Ekeselensia Dompet Dhuafa dan Insan Cendikia Madani. Itu adalah perjalanan pertama anak-anak dengan CL. Mereka terlihat sangat bersemangat. Mereka mengamati setiap detail yang mereka jumpai di sepanjang perjalanan dari Bogor sampai ke Kota Tua itu. Saya pun mendadak berubah macam pemandu wisata yang menerangkan banyak hal kepada peserta tur.

“Gedung yang bentuknya seperti batu itu adalah perpustakaannya”, saya melanjutkan. Iman, siswa kelas VIII tiba-tiba bertanya kepada saya, “Kalau utadzah, dulu kuliah dimana?”. Saya bingung, ustadzah siapa? Saya tidak mengenal seorang pun ustadzah di sekolah mereka. Saya hanya mengenal beberapa ustad wali asrama mereka. Jadi, ustadzah mana yang Imam maksud?, saya berfikir beberapa detik.”Ustadzah siapa?”, saya bertanya untuk mengurai maksud Imam. “Ustadzah!”, jawab Imam sambil menunjuk saya. Seketika itu saya kaget dan Riri yang berdiri tepat di samping saya pun kaget sehingga kami secara reflek saling berpandangan. Hening. “Yang Imam maksud itu mungkin Kak Dita”, kata Riri sambil menahan tawa.

Pandangan saya beralih ke Imam. Saya menjadi salah tingkah. Tak sanggup saya membahasakan diri saya sebagai ustadzah. Panggilan itu terlalu berat untuk saya yang masih sepayah ini. “Oh, Ibu Dita maksudnya?”, pertanyaan itu saya lontarkan sambil mengarahkan ujung jari telunjuk ke batang hidung saya. Imam mengangguk, “Iya.” Saya yang masih agak syok dengan panggilan yang Imam berikan pada saya itu, mulai menguasai situasi. “Kalau Ibu Dita dulu kuliahnya di UGM, Imam. Sama seperti Ibu Diah.”

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa Imam memanggil saya dengan sebutan ustadzah? Apakah dia mengira saya adalah salah satu ustadzah di sekolahnya sekarang? Dulu ketika di Bima Imam memang bukan berasal dari sekolah yang saya ajar sehingga bisa jadi ia kurang familiar dengan saya. Tapi, selama 1,5 ia bersekolah di Smart Ekselensia, tak kurang lima kali saya sudah menjenguknya dan mengajaknya jalan-jalan. Masakah Imam tidak mengingat saya?

“Oo.. soalnya kamu itu pantes jadi ustadzah, Dit!” terang Kak Mutia saat saya meceritakan apa yang baru saja saya alami itu. Kejadian itu terus terngiang-ngiang di benak saya. Barangkali Imam memanggil saya “ustadzah” karena melihat penampilan saya, saya berkesimpulan demikian.

Kadang, apa yang nampak dari luar itu dijadikan kesimpulan untuk menilai dalamnya seseorang. Padahal, tidak selamanya yang di luar itu paralel dengan yang di dalam. Dengan melihat penampilan kita atau cara kita bertutur, orang-orang mungkin akan memberikan penghargaan lebih pada kita. Di balik itu semua, barangkali banyak sikap kita yang senyatanya belum sesuai dengan penghargaan orang lain pada kita. Dalam situasi seperti itu, barangkali Allah sedang menutup aib kita, cela kita. Allah sedang mendekap kita dalam selubung yang tak tembus pandang.

Apa jadinya jika semua aib kita ini Allah izinkan tersingkap dan nampak jelas di depan banyak orang? Tentu kita perlu bersyukur selama Allah masih berkehendak menutupi aib kita sehingga yang nampak dari kita adalah yang baik-baik. Jika Allah saja mau menutup aib kita, tapi kenapa kita terkadang justru mengumbar aib saudara-saudara kita?

Tidak ada manusia yang bersih dari dosa dan cela. Usahlah kita mencari-cari aib dan mempergunjingkannya. Karena seburuk-buruknya akhlak seseorang, masih banyak hal yang kita pelajari dari mereka. Pun apa yang kita lihat buruk dalam takaran kita itu bisa jadi bernilai baik dalam takaran Allah.


Imam

Tidak ada komentar: