Translate

Selasa, 07 Juli 2015

Menikah untuk Meraih Surga (Part 2)

Sudah baca tulisan yang Part 1? Kalau begitu, kita lanjut ke Part 2 ya! Kali ini materi disampaikan oleh Ustadzah Dr. Sitaresmi S Soekanto, seorang ibu dari 7 anak dan nenek dari 4 orang cucu. Selain aktif menjadi pembicara di berbagai acara seminar kewanitaan dan pendidikan anak, beliau adalah dosen di FKM, UI. Di masjid BI sendiri, beliau adalah narasumber tetap yang mengisi kajian reguler.

Dalam seminar Menikah untuk Meraih Surga pada tanggal 5 Juli 2015 di masjid BI ini Ustadzah Sitaresmi banyak berbagi pengalamannya berumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Latar belakang beliau sebagai akademisi menambah khasanah pengetahuan beliau terkait dunia rumah tangga yang juga beliau bagi di seminar 5 Juli itu.

Menurut beliau, menikah adalah learning proses dan learning proses is a never ending job. Oleh karena itu, memasuki fase pernikahan berarti memasuki fakultas kesabaran di universitas kehidupan. Di fakultas kesabaran itu kita belajar menjalankan mata kuliah "fungsi keluarga". Dalam Islam, ada empat fungsi keluarga. Pertama, sebagai pembendung dekadansi moral. Kita lihat dekadansi moral yang terjadi saat ini salah satu sebabnya adalah karena orang tua tidak mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik. Kedua, sebagai tempat berlindung yang memberikan rasa aman kepada semua anggota keluarganya. Ketiga, sebagai basis penanaman akhlak  dan yang keempat adalah sebagai wadah tarbiyatul aulad (pendidikan anak).

Sebagai pendidik, orang tua harus ikhlas, amanah, jujur, bertanggung jawab dan berilmu. Orang tua harus terus meng-upgrade pengetahuannya dalam mendidik anak. Orang tua tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang mereka miliki. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Orang tua hendaknya menjadi guru pertama untuk mempraktikkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini orang tua harus bekerja sama dan meluangkan waktu khusus. Di Norway misalnya, seorang ibu yang melahirkan berhak atas cuti selama 2 tahun penuh agar pengasuhan dan pendidikan anak bisa dijalankan dengan sepenuhnya. Dalam 2 tahun ini si ibu menjadi full time mother. Selain si ibu yang diberikan hak cuti, si ayah juga diberi hak cuti walaupun cuma 3 bulan untuk menemani istrinya selama proses persalinan dan pengasuhan anak di usia tiga bulan pertama. (Kebijakan ini karena komposisi parlemen Norway lebih dari 50% adalah perempuan)

Setelah memasuki fase pernikahan kita biasanya terjebak pada rutinitas seperti mengurus anak dan rumah tangga. Oleh karena itu, asupan ruhiah (bisa dari pengjian atau buku-buku, dll) harus terus ditambah. Seorang istri yang uring-uringan salah satu sebabnya adalah karena asupan ruhiahnya mengalami defisit.

Ujian pernikahan itu bermacam-macam: kekurangan makanan/harta dsb. Rumah tangga Ali dan Fatimah misalnya. Pada suatu ketika, Ali tidak mempunyai uang yang bisa dibelanjakan untuk memberi makan anak dan istrinya. Lalu, Fatimah meminta Ali menjual kain yang sudah ia rajut untuk dibelanjakan roti. Pergilah Ali ke pasar. Setelah kain berhasil dijual dan uangnya dipakai untuk membeli roti, di perjalanan Ali berjumpa dengan pengemis yang nampak lemas. "Aku dan anak istriku baru sehari tidak makan sedangkan pengemis itu mungkin sudah berhari-hari tidak makan", begitu pikir Ali yang kemudian menyedekahkan semua roti itu pada si pengemis sehingga Ali pulang dengan tangan kosong. Menyambut suaminya yang pulang tanpa membawa makanan itu Fatimah hanya diam dan menangis. Lalu kata Ali, "Tenanglah istriku, aku akan keluar dan kembali membawa makanan untuk kita dan anak-anak kita".

Ali kemudian kembali ke pasar. Bertemulah ia dengan seorang laki-laki yang membawa segerombolan domba. Lalu kata lelaki itu, "Wahai Ali, belilah satu dombaku ini dengan harga yang murah." Jawab Ali, "Tapi saya tidak punya uang untuk membayarnya." Laki-laki tersebut lalu menyerahkan seekor dombanya pada Ali sembari berkata, "Sudahlah, nanti bayar lain kali saja", kemudian pergi. Ali bingung karena lelaki itu pergi dengan sangat cepat. Ali kemudian menjual domba tersebut. Uang hasil penjualannya ia pakai untuk membeli roti dan sisanya ia putar sebagai modal perniagaan. Di hari esok dan esoknya lagi dan lagi, saat Ali akan mengembalikan uang itu kepada pemilik domba, Ali mencari-cari lelaki itu namun tak dapat ditemukannya. Lalu Ali mengadukan perkara ini kepada Rasulullah yang kemudian dijawab oleh Rasulullah bahwa lelaki pemilik domba itu adalah malaikat yang diutus oleh Allah untuk menggantikan rezeki yang sebelumnya Ali sedekahkan pada pengemis. Kata Allah dalam QS Al Hadid : 11 "Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya dan baginya pahala yang mulia."

Dari rumah tangga Ali-Fatimah kita bisa mengambil banyak pelajaran. Untuk memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, sebagaimana keluarga Ali-Fatimah, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam pernikahan diantaranya: memiliki banyak persamaan (sehingga dengannya kita bisa merasa confort), memiliki kemampuan komunikasi dan problem solving yang baik, mampu saling memberikan kesempatan untuk tetap menjadi diri sendiri dan saling bertumbuh, mampu mengendalikan emosi. Tentang poin "memiliki banyak persamaan" ini ada sebuah kisah dari sepasang suami istri, teman dari ustadzah Sitaresmi. Pasangan tersebut memiliki cita-cita pernikahan dan passion yang sama yaitu mengabdikan diri pada dunia kemanusiaan. Saat keduanya menjadi dokter umum, mereka pergi ke Afganistan untuk menjadi dokter di medan perang. Di sana mereka menyaksikan banyak sekali korban perang yang tidak bisa mereka tangani (misalnya patah tulang) karena mereka hanya dokter umum. Mereka kemudian kembali ke tanah air untuk mengambil kuliah spesialis. Sang suami mengambil spesialis ortopedi di UI sedangkan sang istri spesialis internis di UNAIR. Setelah lulus, mereka pergi ke Palestina untuk kembali menjadi dokter di daerah konflik.

Lalu, di bagian akhir sesi kedua ini Ustadzah Sitaresmi menerangkan tentang hak suami dan istri. Hak istri antara lain: dipergauli dengan baik, diajari ilmu agama, diberi mahar dan nafkah, dijaga fisik dan perasaannya dari segala gangguan, dijaga rahasianya, diizikan untuk pergi keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Sedangkan hak suami antara lain: ditaati perintahnya selama bukan perintah untuk bermaksiat, diakui kebaikannya, dsb (sayangnya banyak poin yang tidak sempat tercatat).

Kholas sudah materi sesi 2. Untuk materi sesi 3 tunggu di tulisan selanjutnya ya! :-)


Tidak ada komentar: